Kapan Lebaran Pak ?

Entah kenapa sejumlah mahasiswa dan teman2 sampe beberapa kali bertanya kapan saya merayakan lebaran tahun ini. Saya kadang2 GeEr aja bahwa barangkali mereka2 akan mereferensi pilihan saya sebagai pilihan mereka juga. Ah, memang saya siapa ?  :mrgreen:

#NARSIS mode ON

Tetapi bisa jadi juga. Saya kan salah satu pengurus mesjid di kampus, [pernah] menjadi khatib di shalat Jum’at-an, [pernah] menjadi pembaca do’a di acara pesta akbar kampus (wisuda – an), agak jenggotan juga dah – dikit [memang dasarnya sgitu dan gak mau lebat aja], disebut2 sebagai kader pks [padahal gak jadi pengurus apa pun di partai itu], suka njinjing buku2 atau majalah berbau Islam [demi menyaingi buku2 IT yg agak sejibunan] dan enak nyambungnya kalo ada obrolan masalah2 agama [kalo ini asli saya aja yg ngaku2]. :mrgreen:

#Udah ah NARSIS nya

Tapi ngerti lah sendiri kenapa mereka bertanya2 bahkan kita2 juga kan begitu. Kita sama tahu bahwa di tahun ini (1428 H) besar peluang bagi kita utk merayakan lebaran (idul fitri) pada hari yg berbeda.

SEMUA KECEWA, TAPI SEMUA BERSIKERAS UNTUK TETAP BERBEDA.

Lha…, apa yg dikecewain ?

“Saya kecewa, sangat kecewa dengan ummat Islam terutama terhadap pemimpin2nya”, kata seorang teman. “Kenapa anda kecewa ?”, kata saya pura2 bertanya. “Kenapa sih menentukan hari idul fitri saja gak bisa akur, lalu gimana kita mau akur dengan hal2 lain yg lebih prinsipil”, katanya lagi. “Ah, kali ini anda benar”, kata saya. “Saya garis bawahi kata2 anda : yang lebih prinsipil“.

Ada yang lebih prinsipil dari sekedar bagaimana cara menentukan batas akhir melaksanakan shaum di bulan ramadhan.

Kenapa berbeda ?

Akar masalah yg paling mendasar kenapa muncul perbedaan ini adalah, karena adanya perbedaan dalam menafsir nash (dalam hal ini tafsir hadist).

Secara umum ada yang menafsir secara literal (tekstual) dan ada yg menafsir secara kontekstual (substansial).

Kalangan literal berkata bahwa kegiatan melihat [menunggu] langsung  munculnya bulan tetap harus dilakukan karena bunyi asli (teks) hadist-nya seperti itu. Kalangan kontekstual berkata bahwa tak perlu lagi menunggu2 “penampakan” tersebut karena teknologi sudah mampu meniadakan kebutuhan tersebut. Kalangan terakhir ini memanfaatkan pengetahuan tentang prilaku (gerakan) benda2 di angkasa (bulan, bumi, matahari, dan cs-nya) dan melakukan interpolasi (prediksi melalui hitungan/hisab) berdasarkan pengetahuan tersebut.

Lalu Gimana ?

Kedua pemahaman tafsir ini bersikeras dengan pilihan alirannya. Tidak mudah untuk mengatakan siapa yg harus disadarkan duluan. Katakanlah cara yg pertama diwakili oleh NU cs dan cara yg kedua diwakili oleh Muhammadiyah cs. Apakah kita dapat memaksa agar orang2 NU melakukan tafsir secara kontekstual juga. Mereka mungkin kbanyakan akan ketawa. Tau kenapa ? Karena perbedaan kedua organisasi tersebut tidak selamanya demikian.  Dalam hal lain ternyata teman2 NU mampu membuktikan bahwa mereka jauh lebih kontekstual (substansial) ketimbang Muhammadiyah. Lho kok bisa gitu ? Rasanya saya dah pernah bahas ini di postingan lain.

Menurut saya, kita harus kembali ke dasar. Apa itu ? Niat.

Yang penting niat. Niat karena Allah, dan tentu saja juga mengikuti rasul-NYA. Apa pun pilihan kita, jika kita yakin bahwa itu dipilih karena ingin mengikuti Allah dan rasul-NYA, saya rasa fine-fine aja.

Yang aneh tentu jika kita memilih suatu pilihan karena ego dan gengsi. Biasanya kita menjadi mengutamakan ego dan gengsi karena kurangnya ilmu dan lemahnya hubungan (amal) dengan-NYA. Dalam hal ini saya menganut pemahaman : Semuanya bisa benar (pluralitas). Setuju pluralisme dalam [internal] ke-Islam-an.

Kapan Lebaran Pak ?

Lebaran saya tahun ini menyesuaikan diri dengan orang2 di sekitar. Menghargai sesama Muslim jauh lebih penting ketimbang menunjuk2 kan perbedaan yang justru dapat merenggangkan hubungan. Kecuali jika perbedaan itu tidak menjadi masalah, yah.. no problem, tetapi ternyata perbedaan tsb seringkali kita respon dengan penyalahan pihak2 yg berbeda.

Tetapi kalo saya ditanya serius,”Lalu pilihan bapak lebaran kapan ?”. Saya jawab serius juga,”Tahun ini saya memilih ngikut dengan keputusan pemerintah”.

Lha kok gitu, anda kan orang Muhammadiyah ?

Saya akhirnya tersadar, bahwa ternyata NU atau Muhammadiyah itu cuma organisasi, mereka bahkan tidak bisa meng- “klaim” tentang kebenaran pilihannya.

Islam jauh lebih besar dan lebih luas ketimbang hanya NU atau Muhammadiyah semata.

Dalam hal ini saya setuju dengan pesan : jangan terkotak2. Dalam hal cara berjuang (dakwah) silahkan, tetapi dalam hal fatwa kebersamaan, kita harus bersama2.

Mencoba menjaga persatuan [untuk saat ini] jauh lebih urgen ktimbang “mengorek2” pihak lain yg berbeda.

Itu mah, saya.

Silahkan saja kalo mo ikut2an. 😀

18 komentar di “Kapan Lebaran Pak ?

  1. Wah… semoga masih banyak lagi orang seperti Pak heri…

    mau Muhammadiya kek, mau NU kek, mau kontekstual kek, mau literal kek, mau tokek kek…

    intinya kembali ke nawaitu-nya, bukankah semua kembali berpulang kepada ALLAH ? bukankah ukuwah lebih penting ? jika nash samar kenapa tidak mendahulukan ukuwah ? bukankah kita memiliki pemerintahan yang sah ? bisakah perbedaan disatukan dan kemudian ditetapkan oleh pemerintah yang sah ?

    Yang ironi kadang yang literal sudah jelas malah mencari yang kontekstual tapi justru yang literal samar beralasan berpegang pada literal…

    Semoga suatu saat ummat ISLAM bisa kembali bersatu…

    InsyaALLAH.

  2. @mardun
    Saya ikut petunjuk Allah dan rasul-NYA. Maksudnya mengutamakan yang pokok dari yang furu’ (cabang-cabang).. 🙂

    @Ferry ZK

    Semoga suatu saat ummat ISLAM bisa kembali bersatu…

    Amien.

  3. Iya nih, kadang2 masalah awal bulan Ramadhan dan Syawal aja dibesar2kan, soalnya banyak individu2 yang berusaha untuk mempengaruhi orang lain (bahkan ada yang berbau setengah paksaan), padahal kalau masing2 menghormati keputusan orang lain (asal tidak bertentangan dengan agama) masalah tidak akan menjadi besar.
    Lebih baik berkonsentrasi ibadah puasa di 10 hari terakhir bulan Ramadhan daripada ngeributin kapan lebarannya, ya kan? Hehehehe 😀

  4. kalo aku kayaknya lebaran ga ke mana-mana nih om! habis aku jadi panitia ZISWAF. itung-itung bagi-bagi hepi dengan orang laen.
    pengen silaturahim dengan kluarga sih… !

    Herianto :
    Mmm.. Lha itukan sudah bagus. 🙂

  5. Ping balik: Maaf #6 « the caplang

  6. “Saya akhirnya tersadar, bahwa ternyata NU atau Muhammadiyah itu cuma organisasi, mereka bahkan tidak bisa meng- “klaim” tentang kebenaran pilihannya.

    Islam jauh lebih besar dan lebih luas ketimbang hanya NU atau Muhammadiyah semata.”

    setuju banget pak heri….. 🙂

    kalau pembahasan yang sedikit nyeleneh dari saya yang awam tentang hal ini (karena ngga punya dalilnya) baca di

    lebaran kapan yah?

    salam kenal

    lagi belajar 🙂

    Herianto :
    Salam kenal juga ken… 🙂

  7. Tadi malam saya juga ditanya hal yang sama yaa saya jawab secara tegas, besuk pada 1 syawal. Semua sepakat.

    Herianto :
    Memang tidak ada kepastian kapan kita lebaran tahun ini. Yang pasti adalah : 1 Syawal.
    Sepakat pak. 🙂

  8. Kalimat, “ah, kali ini anda benar”, mengandung konotasi bahwa selama ini teman, mas Heri, salah mulu dong? 😀 😀 *ini OOT bukan ya?* 😀

    Herianto :
    Iya kali… 😀
    Ah, kamu bisa aja… 🙂

  9. …. ternyata NU atau Muhammadiyah itu cuma organisasi, mereka bahkan tidak bisa meng- “klaim” tentang kebenaran pilihannya.

    Islam jauh lebih besar dan lebih luas ketimbang hanya NU atau Muhammadiyah semata.

    Setuju banget dengan pernyataan ini nih, Pak. NU atau Muhammadiyah itu sebenarnya kan cuma atribut. Yang penting substansi Islamnya itu. Masalah perbedaan hari Lebaran, menurut hemat saya nggak perlu dibesar2kanlah karena itu menyangkut masalah keyakinan dan prinsip. Yang penting jangan sampai menimbulkan friksi aja.
    OK, Pak, Heri, minal aidin wal faizin mohon maaf lahir dan batin.

    Herianto :

    Setuju banget dengan pernyataan ini nih, Pak. NU atau Muhammadiyah itu sebenarnya kan …

    Wah, saya juga setuju banget dengan pernyataan bapak di atas… 😀

    Iya pak Sawali, sama-sama : Minal aidin wal faizin mohon maaf lahir dan batin.

  10. idul fitri yah 1 syawal, dari dolo koq ga pernah kompak netepin kapan jatoh nti 1 sayawal?? hmm…

    ikut yang duluan lebaran ajah, tapi sholat ied nya tetep yang belakangan. ga puasa, daripada puasa di hari tasrik malah dosa. kalo belon yaqin yah tinggal bayar ajah puasanya di hari depan. dosa ga yah..?? cmiiw

  11. Ping balik: kembali lah…. « si Kendi

  12. Betul, lebih baik memilih persatuan…!

    Nah, buat saya, itu adalah dengan memilih lebaran pada tanggal 12. Kenapa? Karena keluarga besar istri saya merayakannya berdasarkan rukyat, daripada saya gontok2an sama mertua dan seluruh keluarga besarnya, mending saya ngalah toh….hehehe….

    Lagipula, buat saya pribadi, tak ada yg salah diantara Muhammadiyah maupun NU. Hanya berbeda sisi pandang saja. Yang satu dari kiri, yg satu dari kanan. Yang satu dari depan, yg satu dari belakang. Intinya, semua ingin “melihat” Allah SWT dan Rasulullah SAW.

    Walau kita berbeda, boleh dong saya link, blog ini ke blog saya? hehe….!

    Salam kenal

    Herianto :
    Bukankah dari perbedaan itu terbersit bahwa sesungguhnya ada yg sama di antara kita … 🙂
    Thanks mas atas mampirnya…

Tinggalkan Balasan ke kembali lah…. « si Kendi Batalkan balasan